Selamat Datang

Kamis, 11 Maret 2010

Asuransi Syari'ah

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam telah lama dikenal dalam tataran kehidupan manusia, pada awal perkembangannya, hukum Islam masih sangat simple dan sederhana. Beberapa kasus hokum dimasa awal, dapatlah dikedepankan dalam mendiskripsikan suasana hukum Islam yang realistis. Bagaimana umat Islam bertanya tentang hukum mengonsumsi kharm dalam kehidupan masyarakat pada masa itu? Atau bagaimana dengan kasus pengharaman praktik riba? Semua ini membawa pemahaman bahwa dalam beberapa peristiwa hukum, keberadaan hukm islam menempati posisi yang menuntut untuk memberi jawabannya. Masalah lain yang dirasa krusial dalam aspek hukum Islam adalah adanya nilai kesenjangan yang ada didalamnya. Hukum Islam yang notabene tertera dalam teks-teks suci, yang ada dalam Al Qur’an ataupun Hadist Rasul, secara kuantitas jumlahnya sangat terbatas. Dan itu tidak semuanya menyangkut tentang aspek hukum.
Sedang di sisi lain, perkembangan masyarakat mempunyai laju kecepatan yang kadang kala tidak terkejar oleh hukum itu sendiri. Akibatnya, posisi hukum diprediksikan selangkah lebih dibelakang dibanding dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Diantara isu yang muncul seputar demokratisai, hak asasi, gender, dan keadilan ekonomi-sosial muncul lembaga-lembaga ekonomi baru yang sebelumnya secara formal dalam dunia Timur belum terlembagakan dalam sebuah institusi, seperti lembaga perbankan dan asuransi. Kedua lembaga ini di dunia Barat merupakan barang yang lama telah ada dan telah menjadi salah satu instrument sekaligus mesin ekonomi pada era modern. Sebagai imbas dari proses globalisasi, kedua institusi ini diboyong ke dunia Islam. Maka, menjadi tugas hukum Islam untuk menindaklanjuti ataupun memberi tanggapan, baik dalam bentuk legalitas formal ataupun dalam wujud pengislaman kedua lembaga tersebut.
Selanjutnya akan kami sajikan pembahasan tentang asuransi dalam wajah atau pernak-pernik yang dikemas dengan semangat nilai-nilai keislaman. Ini yang menjadi objek mendalam dalam penyusunan makalah ini. (Ali, 2005:1-6)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian asuransi syari’ah?
2. Bagaimana asuransi dalam perspektif hukum islam?
3. Bagaimana akad yang membentuk asuransi syari’ah?
4. Apakah perbedaan asuransi syari’ah dan konvensional?
5. Bagaimana kondisi asuransi syari’ah di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami pengertian asuransi syari’ah.
2. Untuk memahami bagaimana asuransi dalam perspektif hukum islam.
3. Untuk memahami akad yang membentuk asuransi syari’ah.
4. Untuk mengetahui perbedaan asuransi syari’ah dan konvensional.
5. Untuk memahami kondisi asuransi syari’ah di Indonesia.

Teknik penulisan makalah ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan. Penelitian.Universitas Negeri Malang (UM, 2007).












BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Asuransi Syari’ah
Tidak ada salahnya jika terlebih dahulu kita mengemukakan pengertian asuransi secara umum. Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance. Insurance mempunyai pengertian: asuransi, dan jaminan. Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menjelaskan bahwa asuransi adalah “suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Asuransi syari’ah mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Arab, diantaranya, yaitu takaful, ta’min, dan tadhamun. Ketiga kata tersebut merupakan padanan dari pengertian asuransi syari’ah yang menpunyai makna saling menanggung dan saling menolong.
Takaful berarti menolong, mengasuh, memelihara, memberi nafkah, dan mengambil alih perkara seseorang. At-Ta’min berarti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. At-Tadhamun berarti saling menanggung. (Ali, 2008:1-7)

B. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam

1. Nilai filosofis asuransi syari’ah
Bangunan yang membentuk adanya asuransi syari’ah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dengan dibekali dua kekuatan, yaitu kekuatan pembentuk yang berasal dari Tuhan (roh) yang cenderung berbuat baik dan yang berasal dari materi (unsur tanah). Nilai tersebut merupakan pembawaan manusia sejak lahir yang bersifat alami yang terikat oleh aturan-aturan yang berasal dari Allah SWT. Dengan bekal kedua kekuatan tersebut, manusia dutuntut untuk membaca segala norma atau aturan-aturan Tuhan yang ada di alam semesta, seningga segala gerak yang dilakukan manusia tertuju pada kekuatan yang digariskan oleh-Nya.
Dalam QS. Al Maidah ayat 2 disebutkan bahwa agar manusia selalu berbuat tolong-menolong (ta’awun) antarsesamanya dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa kepada Allah SWT. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah satu nilai filosofi dari berlakunya asuransi syari’ah. Selain itu, dalam QS. Yusuf ayat 46-49 memberikan pelajaran berharga bagi manusia saat ini yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan persiapan secara matang untuk mengahadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang.
Prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syari’ah yang berkembang pada saat ini yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerja sama, dan proteksi terhadap peristiwa yang membawa kerugian.

2. Landasan asuransi syari’ah
Landasan dasar asuransi syari’ah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syari’ah. Karena sejak awal asuransi syari’ah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul, maka landasn yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam. Landasan yang digunakan dalm memberi nilai legalisasi dalam praktik bisnis asuransi adalah: Al Qur’an, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, Praktik Sahabat, Ijma’, Qias, Syar’u man qablana, dan Istihsan.
a). Al Qur’an
Al Qur’an tadak menyebebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam Al Qur’an. Walaupun begitu Al Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa mendatang.

b). Sunnah Nabi
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan tang ditempuh, tradisi, dan terpuji. Dalam sunnah Nabi terdapat hadist-hadist tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang, pertanggungan terhadap anak yatim, menghindari risiko, dan perjanjian.
c). Piagam Madinah
Rasulullah SAW mengundang sebuah peraturan yang terdapat dalam Piagam Madinah yaitu sebuah konstitusi pertama yang memerhatikan keselamatan hidup para tawanan yang tinggal di negara tersebut. Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang peraturan bersama antara orang Quraisy yang berhijrah dengan suku-suku yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup bersama dalam suasana kerja sama saling tolong-menolong. Pasal 11 Piagam Madinah memuat ketentuan bahwa kaum mukminin tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam kesulitan memenuhi kewajiban membayar diyat atau tembusan tawanan. Ketentuan ini menekankan solidaritas sesama mukmin dalam mengatsi kesulitan.
d). Praktik Sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman pernah dilaksanakan oleh Umar bin Khattab. Pada suatu ketika Khalifah Umar memerintahkan agar daftar saudara-saudara disusun perdistrik. Orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman atas pembunuhan yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.
e). Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal ini (aqilah). Rahasia praktik dalam aqilah adalah mengangkat perselisihan dan percekcokan antasuku Arab. Dengan adanya aqilah berarti telah membangun suatu nilai kehidupan yang positif (al-hasan) diantara para suku Arab. Adanya aspek kebaikan dan nilai yang positif dalam praktik aqilah mendorng para ulama untuk bermufakat (ijma’) bahwa perbuatan semacam aqilah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam syari’ah Islam.

f). Syar’u Man Qablana
Dalam pandangan Wahhab Khalaf adalah salah satu dalil hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penetapan hukum dengan mengacu pada cerita pada Al Qur’an atau sunnah Nabi yang berkaitan denagn hukum syar’i umat terdahulu tanpa adanya pertentangan dengan ketetapan yang ada dalam Al Qur’an maupun sunnah Nabi.
g). Istihsan
Istihsan dalam pandangan ahli ushul adalah memandang sesuatu itu baik. Kebikan dari kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menggantikan balas dendam darah.

3. Prinsip dasar asuransi syari’ah
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh beda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syari’ah merupakan turunan dari konsep ekonomika islami.
a). Tauhid (unity)
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktifitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Tuhan selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita.
b). Kedilan (justice)
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antar pihak-pihak yang terkait dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal inidipahami sebagai upaya dalam menempatklan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.
c). Tolong-menolong (ta’awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong antar anggota. Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.
d). Kerja Sama (cooperation)
Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara anggota dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapat memakai konsep mudharabah atau musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua konsep dasar dalam kalian ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan ini.
e). Amanah (trustworthy/al-amanah)
Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah asuransi tidak memberikan informasiyang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.
f). Kerelaan (al-ridha)
Dalam bisnis asuransi kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.
g). Larangan riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Razi dalam kitabnya Tafsir Kabir mengjukan beberapa alasan mengenai pengharaman riba:
• Riba tak lain adalah pengambilan harta orang lain tanpa ada nilai imbalan apapun. Padahal, menurut Nabi SAW., harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain;
• Riba dilarang karena menghalangi manusia untuk terlibat dalam usaha yang aktif. Orang kaya, jika ia mendapat penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang gampang ini dan membuang pikiran untuk giat berusaha;
• Kontrak riba adalah media yang digunakan oleh orang kaya untuk mengambil kelebihan dari modal. Perbuatan ini haram dan bertentangan dengan keadilan dan persamaan;
• Kontrak riba memunculkan hubungan yang tegang diantara sesama manusia;
• Keharaman riba dibuktikan dengan ayat Al Qur’an, dan kita tidak perlu mengetahui alasan pengharamannya. Kita harus membuangnya karena haram, meskipun kita tidak tahu alasannya.
h). Larangan maisir (judi)
Unsur judi artinya adalahsalah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.
i). Larangan gharar (ketidakpastian)
Gharar dalm pengertian bahasa adalh penipuan, yaitu suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dalam asuransi ada dua bentuk:
 Bentuk akad syari’ah yang melandasi penutupan polis.
 Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerimaan uang klaimitu sendiri.
Secara konvensional kata syfi’i kontrak/atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai aqd tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dan dengan uang pertanggungan. Secara syriah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu karena kita tahu berapa yang akan diterima, tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Tuhan yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional. (Ali, 2005: 98-134)

C. Akad yang Membentuk Asuransi Syari’ah
Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam praktiknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi.
Mustafa Ahmad az-Zarqa memberikan kepastian bahwa prinsip dasar yang membentuk akad itu ada empat macam dan harus ada pada setiap pembentukan akad, yaitu: (a) dua orang yang melakukan akad (al-’aqidaani); (b) sesuatu yang diakadkan (mahal al’aqd); (c) tujuan dari akad (maudhu’nal-’aqd); dan (d) rukun akad (arkam al-’aqd), yaitu ijab dan kabul.
Adapun mengenai praktik asuransi merupakan akad yang ghairu musamma (akad yang balum ada penamaannya) dan merupakan akad yang baru dalam literatur fiqh, dalam beberapa hal ada terjadi proses analogi hukum terhadap praktik operasional asuransi dengan bebrapa akad yang telah dikenal. Salah satunya adalah akad muwalat, yaitu akad antara dua orang yang tidak terikat keturunan, yang salah satunya meng-cover musibah pertanggungan diyat terhadap peristiwa pembunuhan. Muslehuddin memberikan pandangan lain tentang akad muwalat, bahwa akad muwalat dalam pandangan ulama yang membolehkan asuransi, serupa dengan asuransi kewajiban (liability insurance). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa sesorang boleh mengasuransikan dirinya tidak hanya terhadap risiko datangnya kematian dan kecelakaan pribadi, atau kerusakan pada hartanya, tapi juga terhadap risiko terjadinya kewajiban terhadap pihak ketiga.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya, yaitu; akad tabarru’ dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung (takaful) peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan. Karena landasan dasar yang awal dari akad mudhrabah ini adalah prinsip profit and loss sharing, maka jika dalam investasinya mengalami kerugian (loss atau negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama antara peserta asuransi dan perusahaan. (Ali, 2005:136-141)

D. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Konvensional
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:


1. Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).

2. Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.



3. Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.

4. Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.

5. Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)


6. Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.

7. Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.

8. Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada. (Risjawan, 2007)

E. Kondisi Asuransi Syari’ah di Indonesia
Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
• Hambatan Pengembangan Asuransi Syariah
1. Instrumen tidak dikenal masyarakat luas.
2. Anggapan masyarakat Indonesia pengurusan klaim asuransi menyulitkan.
3. Instrumen Asuransi kalah bersaing dengan isntrumen investasi seperti surat berharga.
4. Asuransi syariah belum tersosialisasikanluas seperti perbankan syariah.

• Peluang Pengembangan Asuransi Syariah
 Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam.
 Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah untuk pengamanan aset dan transaksi perbankan.

Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syariah adalah ditetapkannnya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah. (Haryanto)



BAB III
KESIMPULAN

Asuransi syari’ah mempunyai makna saling menanggung dan saling menolong. Bangunan yang membentuk adanya asuransi syari’ah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Landasan yang digunakan dalam asuransi syari’ah adalah: Al Qur’an, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, Praktik Sahabat, Ijma’, Qias, Syar’u man qablana, dan Istihsan. Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh beda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika islami.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:
Asuransi Syari’ah Asuransi Konvensional
Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful) Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli
Dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan Dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund)
Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh Menjadi milik perusahaan
Menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah Menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba
Premi yang dibayarkan masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya
Ketika seorang peserta mengundurkan diri sebelum masa reversing period dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus
Seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM Tidak mempunyai dewan pengawas dalam melaksanakan perencanaan, proses, dan praktiknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar